Dec 6, 2007

memaknai kehilangan

Subuh, sekitar pukul 4 pagi datang berita bahwa ayah dari teman adik saya meninggal. Meninggal. Rasanya sedih ya, rasanya kita juga dapat berempati akan kehilangan itu. Dan seolah-olah saya dapat melihat sebuah film lama yang diputar kembali.

Gambaran kematian ayah terasa menari-nari di depan mataku. saya merasa dipusingkan sang waktu yang membawa saya kembali ke sekian tahun yang lalu. Saya dapat melihat diri saya sendiri berlari-lari di tengah hujan lebat berpetir, tanpa saya tahu keberanian seperti itu diperoleh dari mana. Berlari seperti kesurupan, padahal tidak tahu ada apa. Dalam kendaraan, saya hanya bisa berdoa ”Ya Tuhan, jangan biarkan jalanan ini macet”. Dan seperti ada kekuatan ajaib, jalanan sungguh lancar sampai di dekat rumah (padahal itu adalah kawasan yang selalu macet, terutama pada jam pulang kerja). Saya kembali berlari dan sekali lagi dengan doa terucap ”Ya Tuhan, jangan biarkan ayah saya pergi...saya hanya ingin bicara dengannya”...

Kalau diteruskan cerita di atas, tidak akan selesai. Karena rasa sakit apabila diingat-ingat akan terasa lebih sakit. Sebetulnya apa yang kita tahu tentang meninggal, wafat, mati? Bagaimana kita harus memaknai kematian itu sendiri. Sesuatu keadaan yang menyedihkan bagi mereka yang terdekat karena harus kehilangan seseorang yang bisa jadi sangat berarti. Yang bisa jadi telah mengisi hari-harinya dengan kehadiran orang yang meninggal tersebut.

Kehilangan, seolah-olah kita berbicara masalah kepemilikan. Kita kehilangan rasa. Kita kehilangan sesuatu yang (pernah) kita miliki, sesuatu yang dalam keinginan kita seharusnya selalu ada di tempat yang kita mau. Ketika kita kehilangan seseorang atau sesuatu, di bawah sadar kita menyadari bahwa ada ketidakseimbangan dalam diri kita yang disebabkan kehilangan itu. Suatu kenyamanan yang digoyahkan. Ketidakseimbangan itulah yang menimbulkan rasa sedih, sakit, merasa tergoncang. Ketidaknyamanan itu ditimbulkan oleh suatu pandangan bahwa yang kita miliki telah hilang – tidak akan kembali, diikuti dengan kecemasan bahwa segalanya akan berubah di luar kendali kita. Di luar keinginan kita.

Memaknai kehilangan berarti memberikan kita suatu momentum dalam kehidupan bahwasanya sang waktu yang sebelumnya seolah-olah berjalan diam-diam tidak terlihat, menjadi terlihat berdiri di depan mata. Seolah-olah ingin mengatakan bahwa sang waktu selalu ada, meskipun tidak terlihat atau tidak dapat dirasakan, hal ini sesungguhnya menggaris bawahi keberadaannya.

Dengan jelas terlihat dalam suatu peristiwa kematian, bahwa kita tidak pernah dapat memperkirakan seberapa banyak waktu yang ada pada kita, seberapa lama kita diizinkan untuk mempergunakan waktu. Dan kapan waktu akan diminta kembali dari kita. Satu hal yang diperoleh dalam memaknai kematian, bahwa kita bukanlah pemilik waktu, kita hanya dipinjamkan. Bahwasanya ada yang berkuasa atas waktu, yang jelas bukan diri kita sendiri. Sudah seharusnya kita merawat dan menjaga apa yang dipinjamkan kepada kita dengan sebaik-baiknya.

(subuh menjelang matahari terbit)

No comments: